SEMESTA ABSTRAK

Motivasi Menulis

Hukum Pinjaman Online: Pedoman dan Risiko yang Perlu Diketahui




Pinjaman online telah menjadi alternatif yang populer bagi banyak orang dalam memenuhi kebutuhan finansial mendesak. Namun, seperti halnya bentuk pinjaman lainnya, ada sejumlah hukum dan regulasi yang perlu dipahami sebelum Anda mengambil pinjaman online. Artikel ini akan membahas pedoman hukum dan risiko yang terkait dengan pinjaman online.

1. Regulasi Pinjaman Online:Di banyak negara, pinjaman online diatur oleh undang-undang yang mengharuskan penyedia pinjaman untuk mematuhi standar tertentu. Pastikan Anda memahami regulasi yang berlaku di negara Anda sebelum mengambil pinjaman.

2. Suku Bunga dan Biaya:Perhatikan suku bunga dan biaya yang terkait dengan pinjaman online. Beberapa negara mungkin memiliki batasan maksimal untuk suku bunga pinjaman online. Pastikan Anda memahami berapa total biaya yang harus Anda bayar.

3. Syarat dan Ketentuan:Bacalah dengan cermat syarat dan ketentuan pinjaman online. Pastikan Anda memahami persyaratan pembayaran, denda keterlambatan, dan konsekuensi lainnya jika Anda gagal membayar pinjaman tepat waktu.

4. Privasi dan Keamanan Data:Pastikan bahwa situs web penyedia pinjaman online memiliki kebijakan privasi yang jelas dan mengamankan data pribadi Anda dengan baik. Anda harus merasa aman saat memberikan informasi pribadi Anda.

5. Penagihan yang Adil:Hukum biasanya melarang praktik penagihan yang tidak adil atau mengganggu. Jika Anda mengalami penagihan yang tidak wajar, Anda memiliki hak untuk melaporkannya dan melindungi diri Anda.

6. Tindakan Penipuan:Waspadai tanda-tanda penipuan dalam pinjaman online. Hindari peminjam yang meminta biaya terlebih dahulu atau yang tidak memiliki alamat fisik atau kontak yang jelas.

7. Alternatif Lain:Pertimbangkan alternatif lain sebelum mengambil pinjaman online. Mungkin ada pilihan lain, seperti meminjam dari teman atau keluarga, yang tidak melibatkan suku bunga tinggi.

8. Tanggung Jawab Peminjam:Peminjam juga memiliki tanggung jawab untuk membayar pinjaman tepat waktu. Jika Anda mengalami kesulitan keuangan, segera hubungi penyedia pinjaman untuk mencari solusi.

9. Edukasi Keuangan:Penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang keuangan pribadi Anda sebelum mengambil pinjaman. Edukasi keuangan dapat membantu Anda menghindari perangkap pinjaman yang mahal.

10. Konsekuensi Hukum: - Jika Anda gagal membayar pinjaman secara tepat waktu, Anda dapat menghadapi konsekuensi hukum, termasuk denda dan penagihan yang agresif. Hindari situasi ini dengan mengelola pinjaman Anda dengan bijak.

Pinjaman online bisa menjadi solusi yang berguna dalam situasi tertentu, tetapi juga dapat membawa risiko jika tidak dikelola dengan baik. Penting untuk memahami hukum dan regulasi yang berlaku serta memiliki pemahaman yang jelas tentang syarat dan ketentuan pinjaman sebelum Anda memutuskan untuk mengambilnya. Pilihlah penyedia pinjaman online yang terpercaya dan transparan untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan pinjaman ini.

Cara Berpakaian dalam Islam: Pedoman dan Etika




Pakaian dalam Islam memiliki peran penting dalam mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama. Cara berpakaian dalam Islam mencerminkan kerendahan hati, kesopanan, dan kepatuhan terhadap ajaran Allah. Berikut adalah panduan dan etika dalam berpakaian sesuai dengan ajaran Islam:

Aurat dan Kesopanan: Salah satu prinsip utama dalam berpakaian dalam Islam adalah menjaga aurat. Bagi wanita, aurat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Bagi pria, aurat adalah dari pusar hingga lutut. Pakaian harus mencakup aurat dengan baik untuk menjaga kesopanan dan kehormatan.


Pilihan Warna dan Material: Dalam Islam, tidak ada aturan khusus tentang warna atau jenis bahan pakaian. Namun, disarankan untuk memilih warna-warna yang tidak mencolok dan material yang tidak tipis atau transparan sehingga tidak menggoda atau menarik perhatian berlebihan.


Longgar dan Tidak Ketat: Pakaian sebaiknya longgar dan tidak ketat agar tidak menampilkan bentuk tubuh dengan terlalu jelas. Ini adalah tanda kesopanan dan menghindari godaan.


Tidak Terlalu Mewah atau Berlebihan: Islam mengajar untuk tidak bersikap berlebihan dalam berpakaian. Pakaian yang sangat mewah atau mahal dapat menciptakan kebanggaan dan memperlihatkan kemewahan, yang bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam.


Hijab bagi Wanita Muslimah: Bagi wanita Muslim, hijab adalah pakaian yang mencakup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan, dengan pengecualian khusus dalam situasi tertentu seperti di depan mahram (kerabat dekat). Hijab mencerminkan kerendahan hati, ketaatan, dan perlindungan dari pandangan yang tidak senonoh.


Tidak Menampilkan Perhiasan Secara Berlebihan: Islam mengajarkan untuk tidak menampilkan perhiasan secara berlebihan. Terlalu banyak perhiasan atau perhiasan yang mencolok dapat mengalihkan perhatian dari nilai-nilai spiritual.


Pakaian dalam Shalat: Ketika shalat, pakaian harus bersih, rapi, dan menjaga aurat dengan sempurna. Ini mencerminkan ketaatan dan kesucian dalam beribadah.


Pakaian Laki-laki: Bagi pria, pakaian sebaiknya sederhana dan sopan. Hindari pakaian yang terlalu pendek atau ketat.


Kesopanan dalam Pakaian Sehari-hari: Saat berada di masyarakat, selalu pertimbangkan kesopanan dalam berpakaian. Pakaian yang mencerminkan etika dan nilai-nilai Islam adalah suatu kewajiban.


Pilihan Busana yang Tepat: Pilihlah pakaian yang sesuai dengan budaya dan iklim tempat Anda tinggal. Busana yang sesuai dengan iklim panas mungkin berbeda dengan yang sesuai dengan iklim dingin, tetapi tetap harus memenuhi prinsip-prinsip kesopanan Islam.


Kesederhanaan dan Niat yang Baik: Yang terpenting, niat Anda dalam berpakaian haruslah baik, yaitu untuk mematuhi perintah Allah dan menjaga kesopanan. Kekhawatiran akan Allah dan niat yang baik adalah aspek penting dalam berpakaian dalam Islam.

Dalam Islam, berpakaian adalah bagian dari ibadah dan tanda ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk selalu menjalankan prinsip-prinsi

p berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama mereka dan mencerminkan nilai-nilai spiritual.

Dakwah Nabi Muhammad SAW tentang Aurat: Pesan Kebersihan dan Kepantasan dalam Berpakaian

 



Dakwah Nabi Muhammad SAW tentang Aurat: Pesan Kebersihan dan Kepantasan dalam Berpakaian

Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan Allah SWT, membawa misi dakwah yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk etika berpakaian dan menjaga aurat. Dakwah beliau mengajarkan makna kebersihan, kepatutan, dan martabat dalam berpakaian, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk masyarakat yang lebih baik dan penuh keadilan. Inilah pesan-pesan dakwah Nabi Muhammad SAW tentang aurat.

Aurat dalam Islam: Pentingnya Kepantasan dalam Berpakaian

Dalam Islam, aurat adalah bagian tubuh yang harus ditutupi dari pandangan orang lain, terutama bagi para wanita. Ini bertujuan untuk menjaga kehormatan, martabat, dan menghindari godaan serta potensi perilaku negatif. Namun, aurat bukan hanya tentang pemisahan fisik, tetapi juga melibatkan sikap dan perilaku yang pantas dan santun.

Pesanan Nabi Muhammad SAW tentang Aurat:

  1. Menjaga Kebersihan dan Kebersamaan: Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya menjaga kebersihan dalam berpakaian. Beliau mengajarkan agar pakaian selalu bersih dan rapi. Ini mencerminkan rasa hormat terhadap diri sendiri dan orang lain.

  2. Menutup Aurat: Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa aurat harus ditutupi dengan pakaian yang sesuai. Bagi wanita, aurat meliputi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Bagi pria, aurat adalah bagian dari tubuh di atas pusar hingga lutut. Berpakaian yang sopan dan tidak ketat adalah ajaran yang diwariskan oleh Nabi.

  3. Hindari Pakaian Mewah yang Berlebihan: Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa berpakaian mewah yang berlebihan atau bertujuan untuk memamerkan kekayaan bukanlah perilaku yang baik. Sebaliknya, beliau menekankan kejujuran dan kesederhanaan dalam berbusana.

  4. Kesederhanaan dan Kepantasan: Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk memilih pakaian yang sederhana, pantas, dan tidak mencolok. Kepantasan dalam berpakaian mencerminkan sikap rendah hati dan menghindari kesombongan.

  5. Aurat Lelaki: Meskipun pembahasan tentang aurat sering kali terkait dengan wanita, Nabi Muhammad SAW juga memberikan pengajaran tentang aurat bagi lelaki. Beliau menegaskan pentingnya pria menjaga pandangan dan sikap terhadap wanita yang bukan mahram (yang dilarang menikah).

Kesimpulan:

Dakwah Nabi Muhammad SAW tentang aurat bukan hanya sekedar tentang berpakaian, tetapi lebih merupakan panduan untuk menciptakan masyarakat yang bermartabat, santun, dan hormat satu sama lain. Pesan-pesan beliau tentang aurat mengajarkan kita untuk menjaga diri dan menghormati diri sendiri serta orang lain. Mengikuti ajaran ini adalah bentuk penghormatan terhadap ajaran Islam dan prinsip etika dalam berbusana.

 Agama Islam: Pandangan Umum dan Prinsip-Prinsip Inti

Agama Islam: Pandangan Umum dan Prinsip-Prinsip Inti

 Agama Islam: Pandangan Umum dan Prinsip-Prinsip Inti

Islam adalah agama monoteistik yang didasarkan pada keyakinan kepada Allah (Tuhan) dan ajaran yang diajukan oleh Nabi Muhammad. Dengan lebih dari 1,8 miliar penganut di seluruh dunia, Islam memiliki pengaruh yang signifikan dalam budaya, masyarakat, dan sejarah banyak negara. Artikel ini akan menguraikan beberapa aspek utama agama Islam, termasuk sejarah, keyakinan, praktik, dan nilai-nilai inti.

1. Sejarah dan Asal Usul: Islam bermula di Arab pada abad ke-7 Masehi ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril. Wahyu tersebut tertulis dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an. Muhammad dianggap sebagai nabi terakhir, mengakhiri garis nabi yang telah dimulai dengan Nabi Adam. Sebelumnya, bangsa Arab memiliki berbagai bentuk kepercayaan politeistik.

2. Keyakinan Inti: Pada dasarnya, keyakinan dalam Islam dapat diringkas dalam "Pilar-Pilar Iman," yaitu:

  • Iman kepada Allah: Keyakinan dalam satu Tuhan yang Maha Esa, pencipta dan pengatur alam semesta.
  • Iman kepada Malaikat: Keyakinan pada malaikat-malaikat sebagai makhluk tak terlihat yang melaksanakan tugas-tugas khusus dari Allah.
  • Iman kepada Kitab Suci: Keyakinan bahwa Allah telah mengirimkan kitab-kitab suci sebagai panduan bagi manusia, termasuk Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an.
  • Iman kepada Nabi: Keyakinan pada para nabi yang diutus oleh Allah untuk membawa ajaran-ajaran dan petunjuk kepada manusia.
  • Iman kepada Hari Akhir: Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kebangkitan, di mana manusia akan dihisab atas perbuatannya di dunia.
  • Iman kepada Qada dan Qadar: Keyakinan pada takdir dan kehendak Allah sebagai pembuat segala sesuatu.

3. Praktik Utama: Islam memiliki lima tugas ritual yang dikenal sebagai "Rukun Islam":

  • Shahada: Mengucapkan dua kalimat syahadat untuk mengakui keesaan Allah dan kenabian Muhammad.
  • Salat: Melakukan shalat lima kali sehari, menghadap Ka'bah di Makkah.
  • Zakat: Memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan solidaritas.
  • Puasa: Menjalankan puasa selama bulan Ramadan sebagai tanda ketaatan kepada Allah dan pengendalian diri.
  • Haji: Jika mampu, melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekali seumur hidup.

4. Nilai-Nilai Inti:

  • Keadilan dan Keseimbangan: Islam mendorong keadilan sosial dan ekonomi serta menghindari perilaku berlebihan atau ekstrem.
  • Kemanusiaan dan Kepedulian Sosial: Agama ini mengajarkan pentingnya mengasihi, membantu, dan memperhatikan sesama manusia.
  • Ketaatan kepada Allah: Penganut Islam diharapkan mengikuti ajaran Allah dan menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
  • Ketoleranan dan Kerukunan: Meskipun Islam merupakan agama utama, Islam juga mengajarkan menghormati keyakinan agama lain dan hidup berdampingan dengan damai.

Kesimpulan: Islam adalah agama yang kaya dengan ajaran-ajaran moral, etika, dan kehidupan yang berpusat pada kepatuhan kepada Allah. Agama ini telah memberikan pengaruh besar dalam perkembangan masyarakat dan budaya di seluruh dunia. Dengan memahami prinsip-prinsip dasar Islam, kita dapat menghargai keragaman budaya dan keyakinan di dunia yang semakin terhubung ini.

The Thirteen Roses Tragedy in Madrid

The Thirteen Roses Tragedy in Madrid

      

The Thirteen Roses Tragedy in Madrid

The bitter story of thirteen women who were tortured and executed by the nationalist regime. The public remembers them with the nickname "La Treces Rosas" aka the Thirteen Roses.

“RAPIDO, rapido!” a warden officer shouted an order that broke the silence of the night, August 5, 1939. Another line of wardens was also on alert with their rifles when 13 women one by one obeyed the order to climb into the back of a military truck in front of the Ventas Prison yard in the Ciudad Lineal District, the city of Madrid .

The 13 female political prisoners (tapol) are sure that death is about to come. Even so, fear is no longer overshadowing. Precisely when the truck started moving, one of them hummed a song of encouragement which his colleagues followed.

“ Que esté en guardia, que esté en guardia, el burgués  insaciable y cruel.
Joven guardia, joven guardia, no le des paz ni cuartel.
¡Paz ni cuartel!”

The chant is the hymn of the left group, Juventud Socialista Unificada (JSU) or United Socialist Youth, entitled "La Joven Guardia". The 13 political prisoners sung it as a farewell speech to the other political prisoners who are still languishing in Ventas Prison.

They had just stopped singing when the truck stopped and the warden ordered them to get down. The rest were lined up against the walls of the Cementerio del Este (now Cementerio de la Almuneda). They held hands when they were faced with two lines of firing squad.

Such is the final act of the drama film Las 13 Rosas (2007) directed by filmmaker Emilio Martínez Lázaro. The film, adapted from the book Trece Rosas Rojas by journalist Carlos Fonseca, depicts the bitter fate of 13 women who became victims of the right-wing dictator Francisco Franco's regime shortly after the end of the Spanish Civil War (17 July 1936-1 April 1939).

Every August 5, the Fundácion Treces Rosas social foundation routinely holds a memorial in honor of the 13 female martyrs on the wall of the cemetery, where the names of the 13 martyrs are enshrined through a plaque. Until now, the public remembers the 13 martyrs with the nickname "Las Treces Rosas" aka the Thirteen Roses. The "rose" metaphor, said Kajsa C. Larson in her dissertation entitled Remembering the Thirteen Roses: Thinking between History and Memory , refers to metonymic examples of Franco's brutality towards activists who struggle to uphold democracy.

“In the 21st century, the term 'rose' refers to female martyrs in the context of the Spanish Civil War. Like the story of 'La Rosa de Salamanca' or 'Las Tres Rosas Leonesas' before. After Franco's death (20 November) 1975, 'Thirteen Roses' became one of the buzzwords for communicating to the public an extreme example of post-war horrors,” Larson wrote.

What and Who are the Thirteen Roses?

The city of Madrid was not immediately sheltered by peace, even though Franco and his nationalist troops were defeated in the war. Three months after the war, tension, terror and fear were widespread in the Spanish capital.

“Republican and leftist leaders had already fled Spain, leaving the remnants of their organizations in the hands of insignificant activists and militias. José Pena, secretary general of the JSU provincial committee, was also arrested at the end of July. Unable to bear the torture, Pena gave up and gave the names of many leftist activists he knew were still hiding in the city of Madrid," said Fonseca.

A wave of raids and arrests began in May-August 1939 as Franco's steps to rid the capital of the remnants of his political opponents. He entrusted this step to General Eugenio Espinosa de los Monteros, military governor of the city of Madrid cum Commander of the 1st Corps of the Army. Many of those political prisoners, including 13 roses, were later executed in Franco's "Saca de Agosto" campaign.The 13 Roses are part of 43 young leftists who were accused of being subversive because they had the potential to rebel against the Franco nationalist government. Many of these youths are still underage because before 1943, the adult category in Spain started at the age of 23.

More than half of the 13 Mawar members themselves are underage. They are Luisa Rodríguez de la Fuente (18 years), Virtudes González García (18), Victoria Muñoz García (19), Julia Conesa Conesa (19), Adelina García Casillas (19), Dionisia Manzanero Salas (20), Elena Gil Olaya (20), Ana López Gallego (21), Martina Barroso García (22), Joaquina López Laffite (23), Carmen Barrero Aguado (24), Pilar Bueno Ibáñez (27), and Blanca Brissac Vázquez (29).

But not all of the 13 women are JSU or Partido Comunista de España (PCE) activists. The most senior Blanca Brissac Vázquez, for example. She was arrested with her husband, Enrique García Mazas, on 24 May 1939 and placed in a separate prison.

“Blanca is a figure who in fact is not a political figure or an active activist. Blanca was an innocent woman, a mother who loved her son, a dutiful wife and a devout Catholic," continued Larson.

The only indication of the couple's association with leftists is the good friendship between musician Enrique García and Juan Canepa, an anti-Franco communist militant.

Blanca and her husband are just a devout Catholic couple. Both of them had even supported right-wing groups in the 1936 Spanish elections or two months before the war broke out.

“But that (Mazas-Canepa) friendship had a big impact on them. Then an acquaintance of Blanca's, Manuela de la Hera, was annoyed at giving wrong information about Blanca to the police because it was said that Blanca was involved in a plot that planned to kill Franco. These accusations actually existed only in the complainant's imagination,” said Fonseca.

Meanwhile, when Carmen Barrero Aguado was arrested on May 16, 1939, she was no longer an active PCE cadre. He was arrested while working as a tailor, a job he chose after leaving PCE because he had to become the backbone of his family after his father's death.

Similar is not the case with Julia Conesa who was arrested (mid-May 1939) while working as a tailor. He had become a JSU cadre in 1937 but then left because he had to support his family. Before becoming a tailor, Julia had worked as a bus conductor.

He was arrested because his girlfriend's friends found out that Julia had been a member of JSU. Apart from the three names above, the remaining 10 were JSU and PCE militant activists when they were picked up and taken to the Ventas Prison which specifically accommodates women political prisoners.

After weeks of torture in Ventas Prison, they began appearing at the Consejo Permanente de Guerra trial on August 3 along with 55 male political prisoners. They were charged with aiding the rebellion, conspiring and plotting to kill Franco. They were forced to admit it, until a day later they were sentenced to death.

Until the day of their execution on August 5, none of the 13 Roses were allowed to see their relatives or families. The only way to convey the last words is through a letter left in their cell before being transported to the execution site.

"My name will not be erased in history," wrote Julia in a letter addressed to her mother.

Meanwhile, in her last letter to her 11-year-old son, Enrique, Blanca wrote: “My dear son, I thought of you at the last moment. I'm sorry mom if I ever made you angry. Remember us as respected parents. Mother will die with her head held high. Be an example to your Papa, a hard worker and able to endure patiently. Don't forget the memory of your parents. Go to Holy Communion, prepared, with the firm faith that Mother taught you. My dear son, see you later. My love will remain eternal. Blanca."


The Pain of Living in the Shackles of Slavery and Concubinage

The Pain of Living in the Shackles of Slavery and Concubinage

      

The Pain of Living in the Shackles of Slavery and Concubinage

The story of Catharina van Bengalen's life as a mortgagee and concubine illustrates how slavery and concubinage snares.

SLAVERY was commonplace in colonial society during the VOC era. Her presence is needed to do household tasks, such as being a waitress, lighting worker, washerwoman, tailor to cook. Not a few slaves were also employed by the company to dig canals, build roads, erect new buildings, and become iron and woodworkers under the supervision of carpentry experts from Europe in the workshops at the Batavia castle.

The importance of the role of slaves was not only seen from their work, but slaves were also a measure of a person's wealth, especially the European population. Historian Susan Blackburn in Jakarta: 400 Years of History said that most of the slaves belonging to Europeans were generally used as accompaniments to show off wealth. "The very richest people could own a hundred slaves or more," said Susan.

Slaves with special skills such as tending horses, mowing grass and tending crops were generally valued more highly,” wrote Dukut. "Meanwhile, women, apart from their appearance, can be highly valued if they have expertise in cooking or sewing."

Despite having an important role in people's lives, the lives of slaves were inversely proportional to those of their owners. Historian Jean Gelman Taylor in Social Life in Batavia: Europeans and Eurasians in the East Indies wrote that most slaves died as slaves, were malnourished, had no proper shelter and lacked clothing.

They also often receive severe punishment for violating the rules or fighting their employers. Only a few slaves were given extra wages on top of their food rations, and the few who had a salary were able to buy their freedom. Even so, some were released because of the mercy of their owners.

“Free slaves are under the rule of the government just like free citizens. They need permission to stay, marry and have an obligation to join a civilian militia,” Taylor wrote.

However, the condition of European society which was dominated by male immigrants raised hopes for a better life for a number of female slaves. In the early years of Dutch settlement, for some Asian women, the change from slave to mistress of the house was swift. This hope did not completely disappear, although in the following years European men preferred to marry Eurasian women or European women in their home countries, who then sailed to the colonies to live with their husbands.

Unfortunately, according to Hendrik E. Niemeijer in Batavia: Colonial Society of the XVII Century , life as a mortgagee and concubine rarely provided long-term security. “Often such a life is full of surprises and changeable circumstances,” writes Niemeijer.


Back To Top